Kamis, 05 Mei 2016

Eksistensi Manusia Dan Pengembangan Dimensi-Dimensi Manusia Dalam Proses Pendidikan



BAB I
PENDAHULUAN


Eksistensi merupakan sesuatu yang sifatnya individual sehingga bisa ditentukan oleh masing-masing individu. Semua orang memiliki cara keberadaan yang khas dan unik, itulah yang dinamakan sebagai eksistensi seorang individu. Sehingga setiap orang yang dapat menentukan jati diri atas keberadaannya dan mampu berdiri diantara eksistensi orang lain maka mereka akan mendapatkan eksistensi yang sejati. Manusia memiliki kedudukan yang paling tinggi diantara ciptaan Tuhan lainnya. Dengan kekuatan dan keterbatasannya, manusia dapat berbuat apa saja atas dirinya sendiri maupun  lingkungannya.
 Manusia memiliki hakikat yang merupakan karakteristik manusia yang membedakan dengan mahluk lainnya. Sifat hakikat inilah merupakan landasan dan arah dalam merancang dan melaksanakan komunikasi transaksional di dalam interaksi edukatif. Oleh karena itu sasaran pendidikan adalah manusia dimana pendidikan bertujuan menumbuh kembangkan potensi kemanusiannya. Agar pendidikan dapat dilakukan dengan tepat dan benar, pendidikan harus memiliki gambaran yang jelas siapa manusia dan bagimana eksistensinya. Manusia tidak hanya di didik dan dibina kualitas fisik atau biologisnya saja, melainkan juga kesadaran penghayatan masyarakat dan budaya, sampai pada tingkat religius yang meningkatkan kualitas akhlaknya. Pendidikan sebagai proses pemberdayaan, pembebasan, dan rekayasa, menjadi pengkokoh kehidupan manusia sebagai sumber daya saat ini. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya manusia selalu mengadakan berbagai usaha atau upaya untuk mengembangkan kehidupannya.
Dengan pemahaman yang jelas tentang hakikat serta eksistensi manusia maka seorang pendidik diharapan dapat membuat peta karakteristik manusia, sebagai acuan baginya dalam bersikap, menyusun strategi, metode, dan teknik.

1.      Apa yang dimaksud dengan Eksistensi?
2.      Bagaimana Eksistensi manusia?
3.      Apa sajakah macam dimensi manusia itu?
4.     Bagaimana pengembangan dimensi manusia?

    C.     Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui apa itu eksistensi manusia.
2.      Untuk memahami dimensi-dimensi manusia.
3.      Untuk memahami pengembangan dimensi manusia.

     D.     Manfaat Pembahasan
Dengan mempelajari serta memahami materi tentang hakikat serta eksistensi manusia maka kita sebagai calon seorang pendidik diharapan dapat memahami  karakteristik manusia. Dan juga sebagai acuan bagi kita dalam bersikap, menyusun strategi, metode, dan teknik dalam pembelajaran.



BAB II
PEMBAHASAN


Dalam kamus bahasa Indonesia, eksistensi diartikan sebagai keberadaan. Artinya, eksistensi menjelaskan tentang penilaian ada atau tidak adanya pengaruh terhadap keberadaan seseorang tersebut. Apabila orang lain menganggap kita mempunyai sebuah eksistensi, maka keberadaan kita sudah dianggap dan dapat diperhitungkan oleh orang-orang di sekeliling kita.
Eksistensi biasanya dijadikan sebagai acuan pembuktian diri bahwa kegiatan atau pekerjaan yang diakukan seseorang dapat berguna dan mendapat nilai yang baik di mata orang lain. Contoh di dalam lingkup sekolah, eksistensi seorang siswa yang rajin akan selalu diingat oleh pengajar dan lebih terlihat menonjol dibandingkan dengan siswa yang malas belajar. Selain itu, eksistensi juga dianggap sebagai sebuah istilah yang bisa diapresiasi kepada seseorang yang sudah banyak memberi pengaruh positif kepada orang lain.
Pengertian eksistensi menurut ahli filsafat atau filsuf bernama Karl Jaspers memaknai eksistensi sebagai pemikiran manusia yang memanfaatkan dan mengatasi seluruh pengetahuan objektif. Berdasarkan pemikiran tersebut, manusia dapat menjadi dirinya sendiri dan menunjukkan bahwa dirinya adalah makhluk eksistensi. Selain itu, Jaspers juga menjelaskan tentang penerangan eksistensi yang dikemukakannya, yaitu:
a.       Eksistensi selalu memiliki hubungan dengan transedensi.
b.      Eksistensi merupakan filsafat yang menghayati dan menghidupi kebenaran.
c.       Eksistensi seorang manusia dapat dibuktikan oleh cara berpikir dan tindakannya.
Terdapat juga beberapa pandangan penganut filsafat sehubungan dengan eksisitensi, yakni:
a.       Eksistensi adalah cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi, manusialah sebagai pusat perhatian, sehingga bersifat humanistis.
b.      Berekstensi tidak statis tetapi dinamis, yang berarti menciptakan dirinya secara aktif, merencanakan, berbuat dan menjadi.
c.       Manusia dipandang selalu dalam proses menjadi belum selesai dan terbuka secara realistis. Namun demikian manusia terikat dengan dunia sekitarnya terutama dengan manusia.
Manusia memiliki kedudukan, yakni :
1.      Manusia Sebagai Mahluk Individu
Individu berasal dari kata in dan divided. Dalam bahasa inggris in salah satunya berarti tidak, sedangkan divided berarti terbagi. Jadi, individu berarti tidak terbagai atau kesatuan. Dalam bahasa latin individu berasal dari kata individium yang artinya adalah yang tak terbagi, jadi merupakan sebuah sebutan yang dapat dipakai untuk menyatukan sebuah kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Individu bukan berarti manusia sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi melainkan kesatuan yang tak terbatas, yaitu sebagai manusia perorangan sehingga sering digunakan sebagai sebutan “orang-seorang” atau “manusia perorangan”.
Manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi yang berbeda-beda dari yang lainnya atau menjadi seperti dirinya sendiri. Tidak ada individu yang identik dimuka bumi ini, bahkan dua anak yang kembar sekalipun pasti mempunyai perbedaan, hanya serupa namun tidak sama apalagi identik.
Kita ambil contoh, ada dua orang yang kembar, yang mempunyai tangan dan kaki yang sama. Akan tetapi kembar pertama menggunakan tangan dan kakinya untuk melakukan kejahatan dan kembar kedua menggunakan tangan dan kakinya untuk melakukan kebaikan. Secara tidak langsung kembar kedua tidak ingin disamakan dengan kembar pertama karena perilaku kembar pertama tidak baik. Maka dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap manusia itu serupa tetapi tidak sama.
Manusia juga diberi kemampuan (akal, pikiran, dan perasaan) sehingga sanggup berdiri sendiri dan bertanggung jawab atas dirinya. Disadari atau tidak setiap manusia senantiasa akan berusaha mengembangkan kemampuan pribadinya guna memenuhi hakikat individualitasnya (dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya). Kepribadian seseorang  yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi. Setiap individu bersifat unik dengan adanya individualitas itu setiap orang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita, kecenderungan, semangat, dan daya tahan yang berbeda.
M.J.Lavengeld menyatakan bahwa setiap anak memiliki dorongan untuk mandiri  yang sangat kuat, meskipun disisi lain pada anak terdapat rasa tidak berdaya, sehingga memerlukan pihak lain (pendidik) yang dapat dijadikan tempat bergantung untuk memberi perlindungan dan bimbingan, sifat-sifat sebagaimana di gambarkan diatas yang secara potensial telah dimiliki sejak lahir perlu ditumbuhkan dikembangkan melalui pendidikan agar bisa menjadi kenyataan. Sebab tanpa dibina melalui pendidikan, benih-benih individualitas yang sangat berharga itu yang memungkinkan terbentuknya suatu kepribadian yang unik, serta kesanggupan untuk memikul tanggung jawab sendiri merupakan ciri yang sangat esensial dari adanya individualitas pada diri manusia.
Dengan kata lain kepribadian seseorang tidak akan terbentuk dengan semestinya, sehingga seseorang tidak memiliki warna kepribadian yang khas sebagai miliknya. Jika terjadi hal demikian, seorang tidak memilki kepribadian yang otonom dan orang seperti ini tidak akan memilki pendirian serta mudah dibawa oleh arus masa, padahal fungsi utama pendidikan adalah membantu peserta didik untuk membentuk keribadianya atau menemukan kemandiriannya sendiri.
Sebagai makhluk individu, manusia berperan untuk menjalankan beberapa hal seperti berikut :
1)      Menjaga dan mempertahankan karkat dan martabatnya.
2)      Mengupayakan tentang terpenuhinya hak-hak dasar sebagai manusia.
3)      Merealisasikan segenap potensi diri baik dari sisi rohani maupun jasmani.
4)      Memenuhi kebutuhan dan kepentingan diri demi kesejahteraan hidupnya.

Contoh masalah yang timbul dari manusia sebagai makhluk individu
1)      Timbul sifat egois dan ingin menang sendiri pada diri seseorang.
2)      Timbul sifat apatis, yang artinya masa bodoh atau acuh tak acuh.
3)      Timbul sikap atheis atau tidak memiliki agama pada diri seseorang, iri hati, dengki, dan tidak senang melihat orang lain memperoleh kebahagiaan atau kesenangan, berburuk sangka, memiliki sifat pendendam.
4)      Umurnya sudah dewasa akan tetapi masih manja serta tingkah laku dan pemikirannya seperti anak kecil.

2.      Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Manusia sebagai pribadi adalah berhakikat sosial, artinya manusia akan senantiasa dan selalu berhubungan dengan orang lain. Pidarta (1997, 147) mengemukakan bahwa untuk hidup dalam artian benar-benar manusiawi, setiap kehidupan yang berhasil, masing-masing mendapat keuntungan dari apa yang diperolehnya dari orang lain. Setiap kehidupan yang sepenuhnya manusiawi mencakup sebagai suatu bagian yang esensial dari dirinya, banyak unsur yang harus datang dari orang-orang lain. Keakuan manusia betul-betul banyak bergantung pada kontribusi-kontribusi esensial dari orang-orang lain.
Untuk bertumbuh dan berkembang secara wajar dan berhasil sebagai anggota kelompok sosialnya, anak manusia memerlukan hubungan dengan orang lain. Untuk sebagian, tujuan pendidikan adalah membantu perkembangan sosial dari anak, agar dia mendapat tempat, menyesuaikan diri, serta mampu berperan sebagai anggota yang cakap bekerja sama dan konstruktif dalam masyarakat.     
 Manusia tidak mungkin hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Kebutuhan akan yang lain dan interaksi sosial membentuk kehidupan berkelompok pada manusia. Dari tahapan diatas menggambarkan bagaimana individu dalam perkembangannya sebagai makhluk sosial dimana antar individu merupakan satu komponen yang saling ketergantungan dan membutuhkan. Sehingga komunikasi antar masyarakat ditentukan oleh peran oleh manusia sebagai makhluk sosial.
Manusia sebagai makhluk sosial memiliki implikasi :
1.      Manusia adalah makhluk yang selalu berinteraksi dengan sesamanya.
2.      Manusia tidak dapat mencapai apa yang diinginkan dengan dirinya sendiri.
3.      Sebagai makhluk sosial karena manusia menjalankan peranannya dengan menggunakan simbol untuk mengkomunikasikan pemikiran dan perasaanya.
 Esensi manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya adalah kesadaran manusia tentang status dan posisi dirinya adalah kehidupan bersama, serta bagaimana tanggungjawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan.

3.      Manusia Sebagai Makhluk Susila
Susila berasal dari kata “su” dan “sila”, yang  artinya  kepantasan  yang  lebih tinggi. Kemudian pengertian susila mengalami perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih. Dalam  bahasa ilmiah sering  digunakan  dua macam  istilah yang memiliki  konotasi  berbeda, yaitu etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Kedua hal tersebut biasanya dikaitkan  dengan  persoalan hak dan  kewajiban (Tirtarahardja dan Sulo, 2005: 20).
Manusia adalah mahluk susila. Dryarkara mengatakan manusia susila, yaitu manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati, dan mewujudkan dalam perbuatan. Kandungan dimensi kesusilaan adalah nilai dan moral. Penilaian yang dibuat oleh sekelompok individu tentang sesuatu yang sangat penting untuk kehidupan bersama sering kali ditetapkan sebagai standar baku. Standar baku inilah yang selanjutnya dijadikan patokan untuk menetapkan boleh tidaknya sesuatu hal dilakukan oleh individu (terutama individu yang berada di dalam kelompok yang dimaksud), inilah yang disebut moral.
Individu dalam kelompok yang bersangkutan harus mengikuti ketentuan moral tersebut. Ketentuan moral itu biasanya diikuti oleh sanksi atau bahkan hukuman bagi pelanggarnya. Sumber moral adalah agama, adat, hukum ilmu, dan kebiasaan. Masalah kesusilaan maka akan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai. Nilai-nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia, mengandung makna kebaikan, keluhuran kemuliaan dan dijadikan pedoman hidup. Pada hakikatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan nilai-nilai susila dan melaksanakannya. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan manusia bila memiliki nilai-nilai, menghayati dan melaksanakan nilai-nilai tersebut.
    Asas pandangan bahwa manusia sebagai mahluk susila bersumber pada kepercayaan bahwa hati nurani manusia adalah sadar nilai dan mengabdi pada norma-norma. Pendirian ini sesuai pula bila kita lihat pada analisis ilmu jiwa dalam tentang struktur jiwa (das Ich dan das Uber Ich). Struktur jiwa yang disebut das Uber Ich yang sadar nilai-nilai esensi manusia sebagai mahluk susila. Kesadaran susila (sense of morality) tak dapat dipisahkan realitas sosial sebab justru adanya nilai-nilai, efektifitas nilai-nilai, berfungsinya nilai-nilai hanyalah dalam kehidupan sosial.

4.      Manusia Sebagai Makhluk Religius
Aspek keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensi manusia yang terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa di muka bumi ini sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lain. Melalui kesempurnaan-Nya itu manusia bisa berpikir, bertindak, berusaha, dan bisa menentukan mana yang benar dan baik.
Manusia memiliki potensi untuk mampu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di lain pihak, Tuhan pun telah menurunkan wahyu melalui utusan-utusanNya, dan telah menggelar tanda-tanda di alam semesta untuk dipikirkan oleh manusia sehingga manusia beriman dan bertakwa kepadaNya. Manusia hidup beragama karena agama menyangkut masalah-masalah yang bersifat mutlak maka pelaksanaan keberagamaan akan tampak dalam kehidupan sesuai agama yang dianut masing-masing individu. Dalam keberagamaan ini manusia akan merasakan hidupnya menjadi bermakna. Ia memperoleh kejelasan tentang dasar hidupnya, tata cara hidup dalam berbagai aspek kehidupannya, dan menjadi jelas pula apa yang menjadi tujuan hidupnya.
Tujuan dari pendidikan adalah menemukan dan mendalami yang baik itu berdasarkan pengkajian ajaran agama, dan mengajarkan anak-anak untuk mengetahuinya dan mengikutinya. Untuk dapat menjalankan kehidupan yang religius, jelaslah anak memerlukan pendidikan yang mengandung pengkajian-pengkajian, latihan-latihan dan ritual-ritual, yang akhirnya diharapkan akan membantu dia kearah penyatuan diri kepada Tuhan.

1.      Pengembangan Diri Sebagai Makhluk Individu
Pengembangan diri sebagai makhluk individu, berarti pendidikan membantu anak itu menjadi dirinya sendiri. Dia di kembangkan menjadi suatu pribadi yang utuh yang berbeda dengan individu lainnya. Mengembangkan manusia sebagai makhluk individu agar ia menjadi dirinya sendiri bukan jiplakan dari manusia lain, menjadi jati dirinya yang sesungguhnya, agar ia mempunyai makna diatas keberadannya itu. Pendidikan harus mengembangkan anak didik mampu menolong dirinya sendiri. Pestalozzi mengungkapkan hal ini dengan istilah  Hilfe zurselbathilfe, yang artinya memberi pertolongan agar anak mampu menolong dirinya sendiri.
Untuk dapat menolong dirinya sendiri, anak didik perlu mendapat berbagai pengalaman di dalam pengembangan konsep, prinsip, generasi, intelek, inisiatif, kreativitas, kehendak, emosi/perasaan, tanggungjawab, keterampilan, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, anak didik harus mengalami perkembangan dalam kawasan kognitif, afektif dan psikomotor. Sebagai mahluk individu, manusia memerlukan pola tingkah laku yang bukan merupakan tindakan insting, dan hal-hal ini hanya bisa diperoleh melalui pendidikan dan proses belajar.
Di atas telah dikatakan bahwa perwujudan manusia sebagai mahluk individu ini memerlukan berbagai macam pengalaman. Tidaklah dapat mencapai tujuan yang diinginkan, apabila pendidikan terutama hanya memberikan aspek kognitif (pengetahuan) saja sebagai yang sering dikenal dan diberikan oleh para pendidik pada umumnya selama ini. Pendidikan seperti ini disebut bersifat intelektualistik, karena hanya berhubungan dengan segi intelek saja. Pengembangan intelek memang diperlukan, namun tidak boleh melupakan pengembangan aspek-aspek lainnya sebagai yang telah disebutkan di atas.

2.      Pengembangan Manusia Sebagai Mahluk Sosial
Disamping sebagai mahluk individu manusia juga sebagai mahluk sosial. Manusia adalah mahluk yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Manusia tidak dapat mencapai apa yang diinginkan secara seorang diri saja. Kehadiran manusia lain dihadapannya, bukan saja penting untuk mencapai tujuan hidupnya, tetapi juga merupakan sarana untuk pengembangan kepribadiannya. Kehidupan sosial antara manusia yang satu dengan yang lainnya dimungkinkan tidak saja oleh kebutuhan pribadi, tetapi juga karena adanya bahasa sebagai alat atau medium komunikasi. Melalui pendidikan dapat dikembangkan suatu keadaan yang seimbang antara pengembangan aspek individual dan aspek sosial ini. Hal ini penting untuk pendidikan di Indonesia yang berfilasafah pancasila, yang menghendaki adanya perkembangan yang seimbang antara aspek individual dan aspek sosial tersebut.

3.      Pengembangan Manusia Sebagai Mahluk Susila
Aspek yang ketiga dalam kehidupan manusia, sesudah aspek individual dan sosial, adalah aspek kehidupan susila. Setiap masyarakat dan bangsa mempunyai norma-norma, dan nilai-nilainya. Tidak dapat dibayangkan bagaimana jadinya seandainya dalam kehidupan manusia tidak terdapat norma-norma dan nilai-nilai tersebut, sudah tentu kehidupan manusia akan kacau balau.
Melalui pendidikan kita harus mampu menciptakan manusia susila dan harus mengusahakan anak-anak didik kita menjadi manusia pendukung norma, kaidah dan nilai-nilai susila dan sosial yang di junjung tinggi oleh masyarakatnya. Norma, nilai dan kaidah tersebut harus selalu di personifikasikan dalam setiap sepak terjang, dan tingkah laku tiap pribadi manusia. Penghayatan personifikasi atas norma, nilai, kaidah-kaidah sosial ini amat penting dalam mewujudkan ketertiban dan stabilitas kehidupan masyarakat. Sebenarnya aspek susila kehidupan manusia sangat berhubungan erat dengan aspek kehidupan sosial. Karena penghayatan atas norma, nilai dan kaidah sosial serta pelaksanaannya dalam tindakan dan tingkah laku yang nyata dilakukan oleh individu dalam hubungannya dengan atau kehadirannya bersama orang lain.
 Aspek susila ini tidak saja memerlukan pengetahuan atas norma, nilai, dan kaidah-kaidah yang terdapat dalam masyarakat, akan tetapi juga menuntut dilaksanakannya secara konkret apa yang telah diketahuinya tersebut dalam tingkah laku yang nyata dalam masyarakat. Pentingnya mengetahui dan menerapkan secara nyata norma, nilai, dan kaidah-kaidah masyarakat dalam kehidupannya mempunyai dua alasan pokok yaitu :
1.      Untuk kepentingan dirinya sendiri sebagai individu. Apabila individu tidak dapat menyesuaikan diri dan tingkah lakunya tidak sesuai dengan norma, nilai dan kaidah sosial yang terdapat dalam masyarakat maka dimanapun ia hidup tidak dapat diterima oleh masyarakat. Dengan terkucilnya oleh anggota masyarakat yang lain, pribadi tersebut tidak akan merasa aman. Padahal setiap individu membutuhkan rasa aman dimana pun dia berada, akibatnya dia tidak merasa betah tinggal di masyarakat yang tidak menerimanya itu dengan demikian. Selanjutnya dia tidak dapat survive tinggal dimasyarakat tersebut sehingga ia harus mencari masyarakat lain yang kiranya dapat menerimanya sebagai anggota dalam masyarakat yang baru. Namun untuk itu, ia juga akan dihadapkan pada tuntutan dan masyarakat yang sama seperti yang dia alami dalam masyarakat terdahulu dimana dia pernah tinggal yaitu kemampuan untuk hidup dan bertingkah laku menurut norma, nilai dan kaidah masyarakat yang berlaku pada masyarakat yang baru, karena setiap masyarakat masing-masing mempunyai norma, nilai dan kaidah yang harus diikuti oleh anggotannya.
2.      Untuk kepentingan stabilitas kehidupan masyarakat itu sendiri. Masyarakat tidak saja merupakan kumpulan individu, tetapi lebih dari itu kebersamaan individu tinggal disuatu tempat yang kita sebut masyarakat telah menghasilkan dalam perkembangannya aturan-aturan main yang kita sebut norma, nilai, dan kaida-kaidah sosial yang harus diikuti oleh anggotanya. Norma, nilai dan kaidah-kaidah tersebut merupakan hasil persetujuan bersama untuk dilaksanakan dalam kehidupan bersama, demi untuk mencapai tujuan mereka bersama.
Dengan demikian, kelangsungan kehidupan masyarakat tersebut sangat tergantung pada dapat tidaknya dipertahankan norma, nilai dan kaidah masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat dapat dikatakan telah berakhir riwayatnya, apabila tata aturan yang berupa nilai, norma, dan kaidah kehidupan masyarakatnya telah digantikan seluruhnya dengan tata kehidupan yang lain yang diambil dari masyarakat lain, dalam hubungan ini kita semua telah menyadari bahwa betapa pentingnya kewaspadaan terhadap infiltrasi kebudayaan asing yang akan membawa norma, nilai dan kaidah kehidupan yang asing bagi kehidupan kita.

4.      Pengembangan Manusia Sebagai Mahluk Religius
Sebagai anggota masyarakat dan bangsa yang memiliki filsafat Pancasila kita dituntut untuk menghayati dan mengamalkan ajaran Pancasila sebaik-baiknya. Sebagai anggota masyarakat yang dituntut untuk menghayati dan mengamalkan ajaran Pancasila, maka kepada masing-masing warga negara dengan demikian juga dituntut untuk dapat melaksanakan hubungan dengan Tuhan sebaik-baiknya menurut keyakinan yang dianutnya masing-masing, serta untuk melaksanakan hubungan sebaik-baiknya dengan sesama manusia dan dengan lingkungan.
Pengembangan makhluk religius dapat dilakukan dengan bermacam-macam metode, tetapi yang memegang peranan penting adalah metode yang dapat menyentuh aspek afektif, karena masalah agama selain dipentingkan pengajaran (kognitif) tetapi lebih dipentingkan kawasan afektif (yang menyangkut keimanan), untuk dapat menjalankan kehidupan yang religius jelaslah peserta didik membutuhkan pendikan yang mengandung pengkajian-pengkajian, latihan-latihan dan ritual yang akhirnya diharapkan akan membantu dia kearah keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan.
Jadi, pendidikan agama harus dapat mengusahakan agar pserta didik mengetahui, memahami, menghayati, dan menginternalisasi ajaran agama itu kedalam dirinya dan mengamalkannya melalui ibadah-ibadahnya dalam kehidupannya.



KESIMPULAN


Manusia merupakan makhluk yang sempurna. Kepribadian manusia memiliki sifat yang unik, potensial dan dinamis. Pemenuhan kebutuhan dan pengembangan diri manusia itu tampaknya memang dapat dilaksanakan dari, untuk dan oleh manusia itu sendiri. Manusia juga memiliki akal untuk menghadapi kehidupannya di dunia ini. Akal juga memerlukan pendidikan sebagai obyek yang akan dipikirkan. Fungsi akal tercapai apabila akal itu sendiri dapat menfungsikan, dan obyeknya itu sendiri adalah ilmu pengetahuan. Maka dari itu, manusia pada hakikatnya adalah makhluk peadagogis, makhluk sosial, makhluk individual, makhluk susila dan makhluk beragama.

Dari uraian yang telah dibahas dapat disimpulkan bahwa dari keempat dimensi-dimensi merupakan jiwa manusia yang harus ditata sedemikian rupa, agar dalam pelaksanaan dalam berbuat dan bersikap dalam kesehariannya memiliki aturan dalam pelaksanaannya (sesuai nilai dan moral yang terkandung dalam masyarakat). Faktor yang mempengaruhi semua dimensi sebagian besarnya adalah pendidikan, masyarakat, alam sekitarnya dan lain-lain. Dan dari keempat dimensi yang dibahas, ada satu dimensi yang harus menjadi pegangan agar dalam pelaksanaannya sesuai dengan yang diharapkan, yaitu dimensi keagamaan.



DAFTAR PUSTAKA


Jalaluddin dan Abdullah Idi. 2007. Filsafat pendidikan (Manusia, Filsafat dan Pendidikan). Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Nesha Yulita, Dimensi-dimensi Hakikat Manusia : http://neshayulita12.blogspot.com||2012/10/dimensi-dimensi hakikat manusia.html
[Diakses pada 23 oktober 2015]
Purba, Edward dan Yusnadi. 2015. Filsafat Pendidikan. Medan : Unimed Press.