BAB I
PENDAHULUAN
Eksistensi merupakan
sesuatu yang sifatnya individual sehingga bisa ditentukan oleh masing-masing
individu. Semua orang memiliki cara keberadaan yang khas dan unik, itulah yang
dinamakan sebagai eksistensi seorang individu. Sehingga setiap orang yang dapat
menentukan jati diri atas keberadaannya dan mampu berdiri diantara eksistensi
orang lain maka mereka akan mendapatkan eksistensi yang sejati. Manusia
memiliki kedudukan yang paling tinggi diantara ciptaan Tuhan lainnya. Dengan
kekuatan dan keterbatasannya, manusia dapat berbuat apa saja atas dirinya
sendiri maupun lingkungannya.
Manusia memiliki hakikat yang merupakan
karakteristik manusia yang membedakan dengan mahluk lainnya. Sifat hakikat
inilah merupakan landasan dan arah dalam merancang dan melaksanakan komunikasi
transaksional di dalam interaksi edukatif. Oleh karena itu sasaran pendidikan
adalah manusia dimana pendidikan bertujuan menumbuh kembangkan potensi
kemanusiannya. Agar pendidikan dapat dilakukan dengan tepat dan benar,
pendidikan harus memiliki gambaran yang jelas siapa manusia dan bagimana
eksistensinya. Manusia tidak hanya di didik dan dibina kualitas fisik atau
biologisnya saja, melainkan juga kesadaran penghayatan masyarakat dan budaya,
sampai pada tingkat religius yang meningkatkan kualitas akhlaknya. Pendidikan
sebagai proses pemberdayaan, pembebasan, dan rekayasa, menjadi pengkokoh kehidupan
manusia sebagai sumber daya saat ini. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya
manusia selalu mengadakan berbagai usaha atau upaya untuk mengembangkan
kehidupannya.
Dengan pemahaman yang
jelas tentang hakikat serta eksistensi manusia maka seorang pendidik diharapan
dapat membuat peta karakteristik manusia, sebagai acuan baginya dalam bersikap,
menyusun strategi, metode, dan teknik.
1. Apa
yang dimaksud dengan Eksistensi?
2. Bagaimana
Eksistensi manusia?
3. Apa
sajakah macam dimensi manusia itu?
4.
Bagaimana
pengembangan dimensi manusia?
1.
Untuk mengetahui
apa itu eksistensi manusia.
2.
Untuk memahami
dimensi-dimensi manusia.
3.
Untuk memahami
pengembangan dimensi manusia.
Dengan
mempelajari serta memahami materi tentang hakikat serta
eksistensi manusia maka kita sebagai calon seorang pendidik diharapan dapat memahami
karakteristik manusia. Dan juga sebagai
acuan bagi kita dalam bersikap, menyusun strategi, metode, dan teknik dalam
pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam
kamus bahasa Indonesia, eksistensi diartikan sebagai keberadaan. Artinya,
eksistensi menjelaskan tentang penilaian ada atau tidak adanya pengaruh
terhadap keberadaan seseorang tersebut. Apabila orang lain menganggap kita
mempunyai sebuah eksistensi, maka keberadaan kita sudah dianggap dan dapat
diperhitungkan oleh orang-orang di sekeliling kita.
Eksistensi
biasanya dijadikan sebagai acuan pembuktian diri bahwa kegiatan atau pekerjaan
yang diakukan seseorang dapat berguna dan mendapat nilai yang baik di mata
orang lain. Contoh di dalam lingkup sekolah, eksistensi seorang siswa yang
rajin akan selalu diingat oleh pengajar dan lebih terlihat menonjol
dibandingkan dengan siswa yang malas belajar. Selain itu, eksistensi juga
dianggap sebagai sebuah istilah yang bisa diapresiasi kepada seseorang yang
sudah banyak memberi pengaruh positif kepada orang lain.
Pengertian eksistensi menurut ahli filsafat
atau filsuf bernama Karl Jaspers
memaknai eksistensi sebagai pemikiran manusia yang memanfaatkan dan mengatasi
seluruh pengetahuan objektif. Berdasarkan pemikiran tersebut, manusia dapat
menjadi dirinya sendiri dan menunjukkan bahwa dirinya adalah makhluk
eksistensi. Selain itu, Jaspers juga menjelaskan tentang penerangan eksistensi
yang dikemukakannya, yaitu:
a.
Eksistensi
selalu memiliki hubungan dengan transedensi.
b.
Eksistensi
merupakan filsafat yang menghayati dan menghidupi kebenaran.
c.
Eksistensi
seorang manusia dapat dibuktikan oleh cara berpikir dan tindakannya.
Terdapat juga beberapa
pandangan penganut filsafat sehubungan dengan eksisitensi, yakni:
a.
Eksistensi
adalah cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi, manusialah
sebagai pusat perhatian, sehingga bersifat humanistis.
b.
Berekstensi
tidak statis tetapi dinamis, yang berarti menciptakan dirinya secara aktif,
merencanakan, berbuat dan menjadi.
c.
Manusia
dipandang selalu dalam proses menjadi belum selesai dan terbuka secara
realistis. Namun demikian manusia terikat dengan dunia sekitarnya terutama
dengan manusia.
Manusia
memiliki kedudukan, yakni :
1.
Manusia Sebagai Mahluk Individu
Individu berasal
dari kata in dan divided. Dalam bahasa inggris in
salah satunya berarti tidak, sedangkan divided
berarti terbagi. Jadi, individu berarti tidak terbagai atau kesatuan. Dalam
bahasa latin individu berasal dari kata individium
yang artinya adalah yang tak terbagi, jadi merupakan sebuah sebutan yang
dapat dipakai untuk menyatukan sebuah kesatuan yang paling kecil dan terbatas.
Individu bukan berarti manusia sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
dibagi-bagi melainkan kesatuan yang tak terbatas, yaitu sebagai manusia
perorangan sehingga sering digunakan sebagai sebutan “orang-seorang” atau
“manusia perorangan”.
Manusia yang
dilahirkan telah dikaruniai potensi yang berbeda-beda dari yang lainnya atau
menjadi seperti dirinya sendiri. Tidak ada individu yang identik dimuka bumi
ini, bahkan dua anak yang kembar sekalipun pasti mempunyai perbedaan, hanya
serupa namun tidak sama apalagi identik.
Kita ambil
contoh, ada dua orang yang kembar, yang mempunyai tangan dan kaki yang sama.
Akan tetapi kembar pertama menggunakan tangan dan kakinya untuk melakukan
kejahatan dan kembar kedua menggunakan tangan dan kakinya untuk melakukan
kebaikan. Secara tidak langsung kembar kedua tidak ingin disamakan dengan
kembar pertama karena perilaku kembar pertama tidak baik. Maka dari contoh
tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap manusia itu serupa tetapi tidak sama.
Manusia juga
diberi kemampuan (akal, pikiran, dan perasaan) sehingga sanggup berdiri sendiri
dan bertanggung jawab atas dirinya. Disadari atau tidak setiap manusia
senantiasa akan berusaha mengembangkan kemampuan pribadinya guna memenuhi
hakikat individualitasnya (dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya). Kepribadian
seseorang yang merupakan suatu keutuhan
yang tidak dapat dibagi-bagi. Setiap individu bersifat unik dengan adanya
individualitas itu setiap orang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita,
kecenderungan, semangat, dan daya tahan yang berbeda.
M.J.Lavengeld
menyatakan bahwa setiap anak memiliki dorongan untuk mandiri yang sangat kuat, meskipun disisi lain pada
anak terdapat rasa tidak berdaya, sehingga memerlukan pihak lain (pendidik)
yang dapat dijadikan tempat bergantung untuk memberi perlindungan dan bimbingan,
sifat-sifat sebagaimana di gambarkan diatas yang secara potensial telah
dimiliki sejak lahir perlu ditumbuhkan dikembangkan melalui pendidikan agar
bisa menjadi kenyataan. Sebab tanpa dibina melalui pendidikan, benih-benih
individualitas yang sangat berharga itu yang memungkinkan terbentuknya suatu
kepribadian yang unik, serta kesanggupan untuk memikul tanggung jawab sendiri
merupakan ciri yang sangat esensial dari adanya individualitas pada diri
manusia.
Dengan kata lain
kepribadian seseorang tidak akan terbentuk dengan semestinya, sehingga
seseorang tidak memiliki warna kepribadian yang khas sebagai miliknya. Jika
terjadi hal demikian, seorang tidak memilki kepribadian yang otonom dan orang
seperti ini tidak akan memilki pendirian serta mudah dibawa oleh arus masa,
padahal fungsi utama pendidikan adalah membantu peserta didik untuk membentuk
keribadianya atau menemukan kemandiriannya sendiri.
Sebagai makhluk
individu, manusia berperan untuk menjalankan beberapa hal seperti berikut :
1) Menjaga
dan mempertahankan karkat dan martabatnya.
2) Mengupayakan
tentang terpenuhinya hak-hak dasar sebagai manusia.
3) Merealisasikan
segenap potensi diri baik dari sisi rohani maupun jasmani.
4) Memenuhi
kebutuhan dan kepentingan diri demi kesejahteraan hidupnya.
Contoh masalah yang
timbul dari manusia sebagai makhluk individu
1) Timbul
sifat egois dan ingin menang sendiri pada diri seseorang.
2) Timbul
sifat apatis, yang artinya masa bodoh atau acuh tak acuh.
3) Timbul
sikap atheis atau tidak memiliki agama pada diri seseorang, iri hati, dengki,
dan tidak senang melihat orang lain memperoleh kebahagiaan atau kesenangan, berburuk
sangka, memiliki sifat pendendam.
4) Umurnya
sudah dewasa akan tetapi masih manja serta tingkah laku dan pemikirannya
seperti anak kecil.
2. Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Manusia
sebagai pribadi adalah berhakikat sosial, artinya manusia akan senantiasa dan
selalu berhubungan dengan orang lain. Pidarta (1997, 147) mengemukakan bahwa
untuk hidup dalam artian benar-benar manusiawi, setiap kehidupan yang berhasil,
masing-masing mendapat keuntungan dari apa yang diperolehnya dari orang lain.
Setiap kehidupan yang sepenuhnya manusiawi mencakup sebagai suatu bagian yang
esensial dari dirinya, banyak unsur yang harus datang dari orang-orang lain.
Keakuan manusia betul-betul banyak bergantung pada kontribusi-kontribusi
esensial dari orang-orang lain.
Untuk
bertumbuh dan berkembang secara wajar dan berhasil sebagai anggota kelompok
sosialnya, anak manusia memerlukan hubungan dengan orang lain. Untuk sebagian,
tujuan pendidikan adalah membantu perkembangan sosial dari anak, agar dia
mendapat tempat, menyesuaikan diri, serta mampu berperan sebagai anggota yang
cakap bekerja sama dan konstruktif dalam masyarakat.
Manusia tidak mungkin hidup sendiri tanpa
bantuan orang lain. Kebutuhan akan yang lain dan interaksi sosial membentuk
kehidupan berkelompok pada manusia. Dari tahapan diatas menggambarkan bagaimana
individu dalam perkembangannya sebagai makhluk sosial dimana antar individu
merupakan satu komponen yang saling ketergantungan dan membutuhkan. Sehingga
komunikasi antar masyarakat ditentukan oleh peran oleh manusia sebagai makhluk
sosial.
Manusia
sebagai makhluk sosial memiliki implikasi :
1. Manusia
adalah makhluk yang selalu berinteraksi dengan sesamanya.
2. Manusia
tidak dapat mencapai apa yang diinginkan dengan dirinya sendiri.
3. Sebagai
makhluk sosial karena manusia menjalankan peranannya dengan menggunakan simbol
untuk mengkomunikasikan pemikiran dan perasaanya.
Esensi manusia sebagai makhluk sosial pada
dasarnya adalah kesadaran manusia tentang status dan posisi dirinya adalah
kehidupan bersama, serta bagaimana tanggungjawab dan kewajibannya di dalam
kebersamaan.
3. Manusia Sebagai Makhluk Susila
Susila
berasal dari kata “su” dan “sila”, yang artinya
kepantasan yang lebih tinggi. Kemudian pengertian susila mengalami
perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan
dua macam istilah yang
memiliki konotasi berbeda, yaitu etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Kedua hal
tersebut biasanya dikaitkan dengan persoalan hak dan kewajiban (Tirtarahardja dan Sulo, 2005: 20).
Manusia
adalah mahluk susila. Dryarkara mengatakan manusia susila, yaitu manusia yang
memiliki nilai-nilai, menghayati, dan mewujudkan dalam perbuatan. Kandungan
dimensi kesusilaan adalah nilai dan moral. Penilaian yang dibuat oleh
sekelompok individu tentang sesuatu yang sangat penting untuk kehidupan bersama
sering kali ditetapkan sebagai standar baku. Standar baku inilah yang
selanjutnya dijadikan patokan untuk menetapkan boleh tidaknya sesuatu hal
dilakukan oleh individu (terutama individu yang berada di dalam kelompok yang
dimaksud), inilah yang disebut moral.
Individu
dalam kelompok yang bersangkutan harus mengikuti ketentuan moral tersebut.
Ketentuan moral itu biasanya diikuti oleh sanksi atau bahkan hukuman bagi
pelanggarnya. Sumber moral adalah agama, adat, hukum ilmu, dan kebiasaan. Masalah
kesusilaan maka akan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai. Nilai-nilai
adalah sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia, mengandung makna kebaikan,
keluhuran kemuliaan dan dijadikan pedoman hidup. Pada hakikatnya manusia
memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan nilai-nilai susila dan
melaksanakannya. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan manusia bila memiliki
nilai-nilai, menghayati dan melaksanakan nilai-nilai tersebut.
Asas pandangan bahwa manusia sebagai mahluk
susila bersumber pada kepercayaan bahwa hati nurani manusia adalah sadar nilai
dan mengabdi pada norma-norma. Pendirian ini sesuai pula bila kita lihat pada
analisis ilmu jiwa dalam tentang struktur jiwa (das Ich dan das Uber Ich). Struktur jiwa yang disebut das Uber Ich yang sadar nilai-nilai
esensi manusia sebagai mahluk susila. Kesadaran susila (sense of morality) tak dapat dipisahkan realitas sosial sebab
justru adanya nilai-nilai, efektifitas nilai-nilai, berfungsinya nilai-nilai
hanyalah dalam kehidupan sosial.
4. Manusia Sebagai Makhluk Religius
Aspek
keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensi manusia
yang terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama
yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha
Kuasa di muka bumi ini sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan
makhluk lain. Melalui kesempurnaan-Nya itu manusia bisa berpikir, bertindak,
berusaha, dan bisa menentukan mana yang benar dan baik.
Manusia
memiliki potensi untuk mampu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Di lain pihak, Tuhan pun telah menurunkan wahyu melalui utusan-utusanNya, dan
telah menggelar tanda-tanda di alam semesta untuk dipikirkan oleh manusia
sehingga manusia beriman dan bertakwa kepadaNya. Manusia hidup beragama karena
agama menyangkut masalah-masalah yang bersifat mutlak maka pelaksanaan
keberagamaan akan tampak dalam kehidupan sesuai agama yang dianut masing-masing
individu. Dalam keberagamaan ini manusia akan merasakan hidupnya menjadi
bermakna. Ia memperoleh kejelasan tentang dasar hidupnya, tata cara hidup dalam
berbagai aspek kehidupannya, dan menjadi jelas pula apa yang menjadi tujuan
hidupnya.
Tujuan
dari pendidikan adalah menemukan dan mendalami yang baik itu berdasarkan
pengkajian ajaran agama, dan mengajarkan anak-anak untuk mengetahuinya dan
mengikutinya. Untuk dapat menjalankan kehidupan yang religius, jelaslah anak
memerlukan pendidikan yang mengandung pengkajian-pengkajian, latihan-latihan
dan ritual-ritual, yang akhirnya diharapkan akan membantu dia kearah penyatuan
diri kepada Tuhan.
1.
Pengembangan
Diri Sebagai Makhluk Individu
Pengembangan
diri sebagai makhluk individu, berarti pendidikan membantu anak itu menjadi
dirinya sendiri. Dia di kembangkan menjadi suatu pribadi yang utuh yang berbeda
dengan individu lainnya. Mengembangkan manusia sebagai makhluk individu agar ia
menjadi dirinya sendiri bukan jiplakan dari manusia lain, menjadi jati dirinya
yang sesungguhnya, agar ia mempunyai makna diatas keberadannya itu. Pendidikan
harus mengembangkan anak didik mampu menolong dirinya sendiri. Pestalozzi mengungkapkan
hal ini dengan istilah “Hilfe zur” selbathilfe, yang artinya memberi pertolongan agar anak mampu
menolong dirinya sendiri.
Untuk dapat
menolong dirinya sendiri, anak didik perlu mendapat berbagai pengalaman di
dalam pengembangan konsep, prinsip, generasi, intelek, inisiatif, kreativitas,
kehendak, emosi/perasaan, tanggungjawab, keterampilan, dan lain sebagainya.
Dengan kata lain, anak didik harus mengalami perkembangan dalam kawasan
kognitif, afektif dan psikomotor. Sebagai mahluk individu, manusia memerlukan
pola tingkah laku yang bukan merupakan tindakan insting, dan hal-hal ini hanya
bisa diperoleh melalui pendidikan dan proses belajar.
Di atas telah
dikatakan bahwa perwujudan manusia sebagai mahluk individu ini memerlukan
berbagai macam pengalaman. Tidaklah dapat mencapai tujuan yang diinginkan,
apabila pendidikan terutama hanya memberikan aspek kognitif (pengetahuan) saja
sebagai yang sering dikenal dan diberikan oleh para pendidik pada umumnya
selama ini. Pendidikan seperti ini disebut bersifat intelektualistik, karena
hanya berhubungan dengan segi intelek saja. Pengembangan intelek memang
diperlukan, namun tidak boleh melupakan pengembangan aspek-aspek lainnya
sebagai yang telah disebutkan di atas.
2.
Pengembangan
Manusia Sebagai Mahluk Sosial
Disamping
sebagai mahluk individu manusia juga sebagai mahluk sosial. Manusia adalah
mahluk yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Manusia tidak dapat mencapai
apa yang diinginkan secara seorang diri saja. Kehadiran manusia lain
dihadapannya, bukan saja penting untuk mencapai tujuan hidupnya, tetapi juga
merupakan sarana untuk pengembangan kepribadiannya. Kehidupan sosial antara
manusia yang satu dengan yang lainnya dimungkinkan tidak saja oleh kebutuhan
pribadi, tetapi juga karena adanya bahasa sebagai alat atau medium komunikasi.
Melalui pendidikan dapat dikembangkan suatu keadaan yang seimbang antara
pengembangan aspek individual dan aspek sosial ini. Hal ini penting untuk
pendidikan di Indonesia yang berfilasafah pancasila, yang menghendaki adanya
perkembangan yang seimbang antara aspek individual dan aspek sosial tersebut.
3.
Pengembangan
Manusia Sebagai Mahluk Susila
Aspek yang
ketiga dalam kehidupan manusia, sesudah aspek individual dan sosial, adalah
aspek kehidupan susila. Setiap masyarakat dan bangsa mempunyai norma-norma, dan
nilai-nilainya. Tidak dapat dibayangkan bagaimana jadinya seandainya dalam
kehidupan manusia tidak terdapat norma-norma dan nilai-nilai tersebut, sudah
tentu kehidupan manusia akan kacau balau.
Melalui
pendidikan kita harus mampu menciptakan manusia susila dan harus mengusahakan
anak-anak didik kita menjadi manusia pendukung norma, kaidah dan nilai-nilai
susila dan sosial yang di junjung tinggi oleh masyarakatnya. Norma, nilai dan
kaidah tersebut harus selalu di personifikasikan dalam setiap sepak terjang,
dan tingkah laku tiap pribadi manusia. Penghayatan personifikasi atas norma,
nilai, kaidah-kaidah sosial ini amat penting dalam mewujudkan ketertiban dan
stabilitas kehidupan masyarakat. Sebenarnya aspek susila kehidupan manusia
sangat berhubungan erat dengan aspek kehidupan sosial. Karena penghayatan atas
norma, nilai dan kaidah sosial serta pelaksanaannya dalam tindakan dan tingkah
laku yang nyata dilakukan oleh individu dalam hubungannya dengan atau kehadirannya
bersama orang lain.
Aspek susila ini tidak saja memerlukan
pengetahuan atas norma, nilai, dan kaidah-kaidah yang terdapat dalam
masyarakat, akan tetapi juga menuntut dilaksanakannya secara konkret apa yang
telah diketahuinya tersebut dalam tingkah laku yang nyata dalam masyarakat. Pentingnya
mengetahui dan menerapkan secara nyata norma, nilai, dan kaidah-kaidah
masyarakat dalam kehidupannya mempunyai dua alasan pokok yaitu :
1. Untuk kepentingan dirinya sendiri
sebagai individu. Apabila individu tidak dapat
menyesuaikan diri dan tingkah lakunya tidak sesuai dengan norma, nilai dan kaidah
sosial yang terdapat dalam masyarakat maka dimanapun ia hidup tidak dapat
diterima oleh masyarakat. Dengan terkucilnya oleh anggota masyarakat yang lain,
pribadi tersebut tidak akan merasa aman. Padahal setiap individu membutuhkan rasa
aman dimana pun dia berada, akibatnya dia tidak merasa betah tinggal di
masyarakat yang tidak menerimanya itu dengan demikian. Selanjutnya dia tidak
dapat survive tinggal dimasyarakat tersebut sehingga ia harus mencari
masyarakat lain yang kiranya dapat menerimanya sebagai anggota dalam masyarakat
yang baru. Namun untuk itu, ia juga akan dihadapkan pada tuntutan dan
masyarakat yang sama seperti yang dia alami dalam masyarakat terdahulu dimana
dia pernah tinggal yaitu kemampuan untuk hidup dan bertingkah laku menurut norma,
nilai dan kaidah masyarakat yang berlaku pada masyarakat yang baru, karena
setiap masyarakat masing-masing mempunyai norma, nilai dan kaidah yang harus
diikuti oleh anggotannya.
2. Untuk kepentingan stabilitas
kehidupan masyarakat itu sendiri. Masyarakat tidak saja
merupakan kumpulan individu, tetapi lebih dari itu kebersamaan individu tinggal
disuatu tempat yang kita sebut masyarakat telah menghasilkan dalam
perkembangannya aturan-aturan main yang kita sebut norma, nilai, dan
kaida-kaidah sosial yang harus diikuti oleh anggotanya. Norma, nilai dan
kaidah-kaidah tersebut merupakan hasil persetujuan bersama untuk dilaksanakan
dalam kehidupan bersama, demi untuk mencapai tujuan mereka bersama.
Dengan demikian,
kelangsungan kehidupan masyarakat tersebut sangat tergantung pada dapat
tidaknya dipertahankan norma, nilai dan kaidah masyarakat yang bersangkutan.
Suatu masyarakat dapat dikatakan telah berakhir riwayatnya, apabila tata aturan
yang berupa nilai, norma, dan kaidah kehidupan masyarakatnya telah digantikan
seluruhnya dengan tata kehidupan yang lain yang diambil dari masyarakat lain,
dalam hubungan ini kita semua telah menyadari bahwa betapa pentingnya
kewaspadaan terhadap infiltrasi kebudayaan asing yang akan membawa norma, nilai
dan kaidah kehidupan yang asing bagi kehidupan kita.
4.
Pengembangan
Manusia Sebagai Mahluk Religius
Sebagai anggota
masyarakat dan bangsa yang memiliki filsafat Pancasila kita dituntut untuk
menghayati dan mengamalkan ajaran Pancasila sebaik-baiknya. Sebagai anggota masyarakat
yang dituntut untuk menghayati dan mengamalkan ajaran Pancasila, maka kepada
masing-masing warga negara dengan demikian juga dituntut untuk dapat
melaksanakan hubungan dengan Tuhan sebaik-baiknya menurut keyakinan yang
dianutnya masing-masing, serta untuk melaksanakan hubungan sebaik-baiknya
dengan sesama manusia dan dengan lingkungan.
Pengembangan
makhluk religius dapat dilakukan dengan bermacam-macam metode, tetapi yang
memegang peranan penting adalah metode yang dapat menyentuh aspek afektif,
karena masalah agama selain dipentingkan pengajaran (kognitif) tetapi lebih
dipentingkan kawasan afektif (yang menyangkut keimanan), untuk dapat menjalankan
kehidupan yang religius jelaslah peserta didik membutuhkan pendikan yang
mengandung pengkajian-pengkajian, latihan-latihan dan ritual yang akhirnya
diharapkan akan membantu dia kearah keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan.
Jadi, pendidikan
agama harus dapat mengusahakan agar pserta didik mengetahui, memahami,
menghayati, dan menginternalisasi ajaran agama itu kedalam dirinya dan
mengamalkannya melalui ibadah-ibadahnya dalam kehidupannya.
KESIMPULAN
Manusia
merupakan makhluk yang sempurna. Kepribadian manusia memiliki sifat yang unik,
potensial dan dinamis. Pemenuhan kebutuhan dan pengembangan diri manusia itu
tampaknya memang dapat dilaksanakan dari, untuk dan oleh manusia itu sendiri. Manusia
juga memiliki akal untuk menghadapi kehidupannya di dunia ini. Akal juga
memerlukan pendidikan sebagai obyek yang akan dipikirkan. Fungsi akal tercapai
apabila akal itu sendiri dapat menfungsikan, dan obyeknya itu sendiri adalah
ilmu pengetahuan. Maka dari itu, manusia pada hakikatnya adalah makhluk
peadagogis, makhluk sosial, makhluk individual, makhluk susila dan makhluk
beragama.
Dari
uraian yang telah dibahas dapat disimpulkan bahwa dari keempat dimensi-dimensi
merupakan jiwa manusia yang harus ditata sedemikian rupa, agar dalam
pelaksanaan dalam berbuat dan bersikap dalam kesehariannya memiliki aturan
dalam pelaksanaannya (sesuai nilai dan moral yang terkandung dalam masyarakat).
Faktor yang mempengaruhi semua dimensi sebagian besarnya adalah pendidikan, masyarakat,
alam sekitarnya dan lain-lain. Dan dari keempat dimensi yang dibahas, ada satu
dimensi yang harus menjadi pegangan agar dalam pelaksanaannya sesuai dengan
yang diharapkan, yaitu dimensi keagamaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Jalaluddin dan Abdullah Idi. 2007. Filsafat pendidikan (Manusia, Filsafat dan
Pendidikan). Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Nesha
Yulita, Dimensi-dimensi Hakikat Manusia : http://neshayulita12.blogspot.com||2012/10/dimensi-dimensi hakikat
manusia.html
[Diakses pada 23 oktober 2015]
[Diakses pada 23 oktober 2015]
Purba, Edward dan Yusnadi. 2015. Filsafat Pendidikan. Medan : Unimed
Press.